Dua manusia bertemu bisa dengan bermacam cara: dari sekedar halo di pagi hari, dari teman kerja atau dari internet. Dari sana lalu muncul perasaan yang asyik dan bergairah. Ada pengalaman baru dan cerita baru juga. Suatu saat dua manusia itu berpacaran, lalu keduanya menikah entah karena memiliki anak yang sebenarnya tidak diinginkan (kebobolan), atau karena salah satu ingin naik status sosialnya, atau karena uang, atau karena keluarga. Satu - dua - tiga - empat tahun berlalu, atau mungkin tidak selama itu, mereka mulai menyadari kalau hidup mereka nggak utuh, nggak sejalan, terpaksa.
Di Indonesia, atau Asia pada umumnya, kalau ada anak cowok atau cewek yang menikah, mereka otomatis menikahi keluarga besar pasangannya. Di Eropa, atau dunia barat pada umumnya, cowok – cewek menikah buat mereka sendiri, individualisme saja.
Di Indonesia, kalau ada pasangan cerai, yang rugi ceweknya. Cewek itu tercoreng martabatnya, nama keluarganya pun tercoreng. Dia susah sekali mendapatkan pasangan karena dia dilihat sebagai „bekas“ laki-laki (kayak barang aja menurutku). Di dunia barat, peduli amat kamu cerai: cewek bisa tetap hidup mandiri tanpa dilihat sebelah mata seperti halnya yang terjadi di Indonesia.
Tapi apa beratnya menikah, demikian juga cerai? Orang yang berani menikah tentunya juga berani bercerai, tidak memandang dia tinggal di mana. Entah itu di Eropa atau di Asia, kalau orang saling mencintai, mereka bisa memutuskan untuk menikah. Demikian juga cerai: orang bisa memutuskan bercerai jika dia merasa bahwa tidak ada lagi kecocokan antarkeduanya. Ini sama-sama memerlukan pemikiran yang matang dan dewasa. Mungkin kita perlu menikah dulu, atau bercerai dulu, jika ingin matang dan dewasa. Mungkin kita perlu menyukai sekian belas orang sampai menemukan orang yang benar-benar kita cintai. Mungkin, untuk menjadi dewasa, kita perlu lebih membuka diri dan jujur terhadap diri sendiri sebelum melangsungkan pernikahan: apakah aku memerlukan pasangan? Apakah aku cinta dia? Apakah dia orang yang bisa jadi ayah/ibu anak-anakku? Sebelum bercerai orang harus memikirkan ini: Apakah aku lebih bahagia jika tidak bersama dia? Apakah aku lebih bisa berkembang dan maju jika tanpa dia?
Menikah dan cerai, sama-sama berat, sama-sama membuat dewasa.
Di Indonesia, atau Asia pada umumnya, kalau ada anak cowok atau cewek yang menikah, mereka otomatis menikahi keluarga besar pasangannya. Di Eropa, atau dunia barat pada umumnya, cowok – cewek menikah buat mereka sendiri, individualisme saja.
Di Indonesia, kalau ada pasangan cerai, yang rugi ceweknya. Cewek itu tercoreng martabatnya, nama keluarganya pun tercoreng. Dia susah sekali mendapatkan pasangan karena dia dilihat sebagai „bekas“ laki-laki (kayak barang aja menurutku). Di dunia barat, peduli amat kamu cerai: cewek bisa tetap hidup mandiri tanpa dilihat sebelah mata seperti halnya yang terjadi di Indonesia.
Tapi apa beratnya menikah, demikian juga cerai? Orang yang berani menikah tentunya juga berani bercerai, tidak memandang dia tinggal di mana. Entah itu di Eropa atau di Asia, kalau orang saling mencintai, mereka bisa memutuskan untuk menikah. Demikian juga cerai: orang bisa memutuskan bercerai jika dia merasa bahwa tidak ada lagi kecocokan antarkeduanya. Ini sama-sama memerlukan pemikiran yang matang dan dewasa. Mungkin kita perlu menikah dulu, atau bercerai dulu, jika ingin matang dan dewasa. Mungkin kita perlu menyukai sekian belas orang sampai menemukan orang yang benar-benar kita cintai. Mungkin, untuk menjadi dewasa, kita perlu lebih membuka diri dan jujur terhadap diri sendiri sebelum melangsungkan pernikahan: apakah aku memerlukan pasangan? Apakah aku cinta dia? Apakah dia orang yang bisa jadi ayah/ibu anak-anakku? Sebelum bercerai orang harus memikirkan ini: Apakah aku lebih bahagia jika tidak bersama dia? Apakah aku lebih bisa berkembang dan maju jika tanpa dia?
Menikah dan cerai, sama-sama berat, sama-sama membuat dewasa.
1 comment:
Wah dalem nih tulisannya...
Lumayan juga pemikiranmu!
Post a Comment